BandungBandung Senin - Jumat 10:00-18:00 +62 811 - 232 - 1220
info@hipnoterapibandung.com
Pelopor
Terdepan di Bandung
Profesional
Praktisi berlisensi
Berpengalaman
Lebih dari 11 tahun
Hubungi Kami

Waktu Tidak Akan Menyembuhkan Luka

 

Saat itu hari mulai beranjak malam, saya degan sabar menunggu antrian pemeriksaan dokter di salah satu klinik yang memang pada hari itu cukup ramai. Sambil menunggu antrian pemeriksaan saya duduk di sebuah bangku panjang sambil melihat-lihat sekitar. Di banku sebelah saya duduklah seorang ibu yang usianya sepertinya tidak jauh berbeda dengan ibu saya. kemudia sambil mengusir rasa bosan, saya  mengajak ibu tersebut berbincang-bincang. Tanpa diminta, ia pun menuturkan penyakitnya yang sudah lama sekali ia idap. Asam lambung, hipertensi, pembengkakan jantung dan diabetes. Ia bilang, maklumlah nak, sudah tua, penyakit ibu sudah banyak. Dia balik bertanya pada saya, “sakit apa nak?’ saya jawab, bahwa saya kurang enak badan dan sedikit flu. Akhirnya obrolapun berlangsung dengan asik mengalir begitu saja.

 

Ibu itu menceritakan tentang pengalaman hidupnya. Ia bercerita bahwa penyakitnya sudah lama ia idap, kurang lebih usia 50an.  Sejak usia 40 tahun ia hanya tinggal ber tiga dengan anaknya, suaminya meninggalkan mereka begitu saja. Setelah diselidiki, ternyata suaminya menikah lagi dan tinggal di kota lain. Sejak saat itu, ia harus banting tulang menafkahi ke dua anaknya dan dirinya sendiri. Ia merasa dikhianati dan merasa sakit hati terhadap suaminya. Berkali-kali ia mengatakan bahwa ia tidak akan pernah memaafkan suaminya sampai kapanpun. Begitu juga ia melarang anak-anaknya bertemu dengan ayahnya. Ia tidak mau anaka-anaknya lebih kecewa jika betermu dengan ayahnya yang sudah memiliki keluarga lain. Ekspresi marah yang tertahan tampak terpancar dari raut wajahnya, sambil sesekali ia mengusap air matanya menahan kesedihan juga. Dengan suara yang tercekat ia melanjutkan ceritanya.

 

Sesekali ia mengungkapkan sumpah serapahnya terhadap suaminya, ia mengatakan anak-anaknya tidak bisa hidup normal seperti anak-anak yang lain. Anak-anaknya harus berjualan membantu dirinya banting tulang agar dapat hidup dengan layak, walau pada kenyataannya justru hidup susah. Namun karena kerja keras mereka dan semangat mereka, ke dua anaknya sekarang sudah lulus kuliah dan bekerja. Kehidupan mereka bertiga juga sudah berkecukupan, walau demikian, perasaan sakit hati, marah dan kecewa tetap terasa hingga sekarang. Padahal ia sudah tidak sesusah dulu kehidupannya, namun ia juga merasa kasihan pada anak-anaknya karena harus mengeluarkan uang ratusan ribu setiap bulannya hanya untuk obat saja. Belum lagi pemeriksaan dokter dan pengecekan di laboratorium.

 

Di sela-sela bercerita, saya menanyakan keberadaan suaminya sekarang. yang sangat dikagetkan adalah saat beliau mengatakan bahwa suaminya sudah meninggal lima tahun yang lalu. “saya sangat sakit hati nak, walau dia sudah meninggal, tapi saya tetap merasa marah padanya dan saat tidak akan mau mendo’akannya”. “bagaimanapun saya masih ingat perlakuan jahatnya terhadap saya dan anak-anak saya, dan saya tidak akan pernah memaafkannya sampai kapanpun”

 

Mendengar ucapan ibu tersebut yang selalu berualang-ulang mengatakan sakit hatinya, rasa marahnya dan tidak mau memaafkannya, membuat saya cukup kaget. Untuk apa ibu ini menyimpan rasa dendamnya hingga bertahun-tahun, apalagi suaminya sudah lama meninggal. Saya merasa terkejut bukan karena ia menyimpan rasa sakit hatinya, tapi dampak dari menyimpan rasa sakit yang terlalu lama. Orang yang ditujupun sudah lama meninggal. Beliau mempertahankan luka batinnya ini tetap menganga selama puluhan tahun, sehingga ia rela mengorbankan kebahagiannya sendiri. Di masa tuanya yang seharusnya ia nikmati dengan rasa bahagia, damai bersama ke dua anak-anaknya. Toh kehidupan mereka sudah jauh lebih baik ketimbang dulu, namun ia memilih tetap menyimpan luka batinnya.

 

Tidak menutup kemungkinan penyakit fisik yang dideritanya akibat dari permasalahan psikologisnya. Ternyata luka batin tidak dapat sembuh dengan sendirinya, walau banyak orang yang menyakini bahwa “ seiring berjalannya waktu luka itu akan sembuh” dengan kata lain bahwa waktu yang nanti akan menyembuhkan luka batin seseorang. Namun ternyata tidaklah benar pendapat tersebut, alih-alih menjadi sembuh namun justru akan menambah rasa sakit yaitu sakit fisik.

 

Jika memang waktu adalah penyembuh luka batin yang mujarab, lalu mengapa para lansia yang ada di panti jompo seringkali menceritakan kisah getirnya dengan jelas, padahal munkin kejadiannya sudah berpuluh-puluh tahun yang lalu dan mereka juga sudah mulai pikin seharusnya ia tidak ingat kejadian tersebut. Nah jika dilihat masalah ini, secara logika seharusnya para lansia ini baik-baik saja atau merasa bahagia di masa tuanya jika berpijak pada pemahaman bahwa waktu adalah penyembuh luka yang mujarab. Namun justru malah kebalikannya.

 

Bila kulit kita sekarang adalah kulit baru yang tumbuh satu minggu yang lalu, begitu juga dengan rambut, dan semua organ tubuh kita mampu memperbaharui dengan sendirinya saat ia luka. Lalu mengapa luka batin tidak pernah bisa sembuh dengan sendirinya? Itu semua disebabkan karena ketidak relaan kita terhadap apa yang sudah terjadi, luka itu masih tertahan hingga saat ini. Kita tidak mau melepaskannya karena seolah-olah tidak sebanding dengan penderitaan yang telah kita rasakan selama ini. Kita lupa bahwa menyimpa luka batin, rasa dendam terhadap seseorang sama halnya akan mencelakakan kita sendiri. Kita berniat meracuni orang yang kita benci dengan kebencian kita, namun kenyataannya justru kita lah yang meminum racun itu sendiri yang perlahan-lahan kita yang akan mati. Sednagkan orang yang kita benci, ia mungkin merasa hidup bahagia dengan ketidak tahuannya jika kita membencinya.

 

Saat percakapan terhenti karean nama si ibu mulai dipanggil oleh petugas, saya jadi teringat klien saya yang sedang saya tangani. Ia pun memiliki luka batin terhadap ibunya, ia bermaksud menghukum ibunya dengan cara mencuri uang, menggadaikan barang-barang miliki dirinya dan orang lain atau boleh dikatakan mendapatkan uang dengan cepat dan dengan cara apapun hanya untuk membeli zat psikotropika. Anak ini menjadi klien saya atas permintaan ibunya. Dia dibawa ibunya ke tempat saya berpraktik, namuan dalam diri anak ini tidak ada keinginan untuk sembuh. Ia masih bergelut dengan rasa kecewa dan marah pada ibunya, tapa ia sadari justru akan merugikan dirinya, merugikan masa dengannya. Inilah yang seringkali orang lakukan, bermaksud menghukum orang lain atas tindakannya, namun dirinyalah yang akan terpuruk dan merugi.

 

Jadi, relakah kita menderita demi orang lain yang kita benci? Lalu apa yang harus dilakukan agar luka batin ini sembuh? Menceritakan masalah dan luka batin kepada pakarnya seperti tenaga profesional tentu adalah pilihan yang tepat, agar kita tidak mati sia-sia dengan menyimpan rasa benci, dan dendam ini secara terus menerus. Healing dengan cara jalan-jalan, bertemu dan bercengkrama dengan teman-teman atau keluarga, makan-makan di tempat mewah, semuanya itu hanya pengalihan sesaat.   Untuk saat itu “Ya” mungkin dapat melupakan rasa marah, namun setelahnya perasaan benci. Marah dan dendam akan muncul kembali. Jadi kembali lagi pada pertanyaan saya “Relakah menderita demi orang lain yang kita benci?”

 

 

c

 

Leave a Reply