BandungBandung Senin - Jumat 10:00-18:00 +62 811 - 232 - 1220
info@hipnoterapibandung.com
Pelopor
Terdepan di Bandung
Profesional
Praktisi berlisensi
Berpengalaman
Lebih dari 11 tahun
Hubungi Kami

“Tidak ada penderitaan yang lebih besar daripada menyimpan cerita yang tak terungkap dalam diri.”  ~ Maya Angelou

 

~ oOo ~

 

Satu lagi kasus yang berawal dari pernikahan, meski sama-sama berlatar pernikahan, ada perbedaan yang membuat penanganan kasus pun berbeda dengan penanganan kasus trauma akibat kisah pernikahan yang tragis dan memilukan yang dialami Rani di artikel saya sebelumnya yang berjudul “Trauma Akibat Pernikahan”.

Kali ini calon klien (statusnya masih calon klien, karena belum tentu saya tangani permasalahan yang dialaminya) yang bernama Budi yang datang pada saya dengan keluhan sakit di kepala bagian belakang, sebagai hipnoterapis tentunya saya harus memastikan dahulu apakah keluhannya Budi ini masuk ke ranah penanganan hipnoterapi atau tidak. Saya harus mempertimbangkan beberapa hal termasuk keluhan pada tubuh atau fisik.

Budi mengatakan jika dia sudah memeriksakan keluhannya pada dokter, dan hasilnya tidak ada yang salah—dalam artian Budi sehat-sehat saja, dalam diagnosa dokter Budi tidak mengalami migrain dan tingkat kolesterolnya pun normal, begitu juga dengan tekanan darah tinggi, singkatnya semua normal.

Setelah memastikan jika keluhan Budi bukanlah masalah medis barulah saya menggali data dan informasi lanjutan yang saya lakukan agar bisa menentukan apakah permasalahan Budi ini boleh, bisa dan layak saya tangani sesuai dengan Prinsip 3P, yaitu: Permitted to, Possible to, Prepared to.

Data dan informasi pun terkumpul, kemudian saya mulai menjelaskan berbagai hal mendasar tentang hipnosis dan hipnoterapi sebagai prosedur standar agar calon klien teredukasi dan tidak lagi memiliki pemahaman yang keliru yang didapat dari tayangan televisi, selain itu juga untuk menentukan jadwal penanganan, karena dari data dan informasi yang sudah didapatkan, Budi dan permasalahan yang dialaminya sudah memenuhi Prinsip 3P.

 

Masalah Berkaitan Dengan Sosok Wanita

Tibalah hari dimana sesi terapi yang dijadwalkan, kembali saya melakukan klarifikasi mengenai tujuan Budi untuk terapi, hal ini penting untuk memastikan agar saat proses penanganan tidak melebar ke mana-mana, yaa…semacam framing-lah supaya proses penanganan berjalan lancar dan tepat sasaran—meski dalam pelaksanaannya akan sangat dinamis dan bermunculan hal-hal yang tak terduga, karena pikiran bawah sadar itu teramat cerdas yang sewaktu-waktu bisa muncul fakta yang bahkan tidak terpikirkan sebelumnya.

Ada beberapa pertanyaan awal yang saya ajukan untuk mengidentifikasi ‘kemungkinan’ yang menjadi akar masalah, yaitu:

  • Sakit kepala seperti apa yang dirasakan oleh Budi saat kambuh?
  • Saat terasa sensasi sakitnya berada di sebelah mana?
  • Apa sensasi yang terasa?

Karena tiga pertanyaan tersebut hanyalah awal atau pembuka, tentunya akan ada pertanyaan lanjutan yang saya ajukan. Intinya, setelah mendapat jawaban dari pertanyaan-pertanyaan pembuka, akan bermunculan pertanyaan lanjutan yang akan melengkapi data dan informasi yang sudah didapatkan sebelumnya. Dengan demikian, penanganan akan semakin terarah.

Setelah saya mendapat jawaban dari ketiga pertanyaan pembuka, saya mulai membuat skema pertanyaan lanjutan, karena ini termasuk ke psikosomatis yang menjadi acuan saya ada pada teori 5 Body Syndrome dari John Kappas, PhD. Dimana kondisi Budi berada dalam Crying Syndrome, yaitu  ketidakmampuan seseorang membuat keputusan bisa karena pengkondisian yang dialami pada masa lalu, akibat ulah/tindakan orang lain, sesuatu yang di luar kendali.

Sedangkan gejala paling umum dari sindrom ini adalah pusing, sebagai wujud dari rasa frustasi karena tidak mampu membuat keputusan. Adapun gejala lainnya seperti asma, pusing, migrain, bronkitis, mata berair, mata kabur, sinusitis, masalah pada tenggorokan, otot punggung kaku, otot leher kaku, menggigit-gigit bibir, gigi saling menggerinda (bruxism), masalah yang berhubungan dengan mulut.

Dan semua gejala tersebut tentunya harus dipastikan terlebih dahulu dengan diagnosa dokter agar penanganan yang dilakukan tidak menyalahi atau melampaui kewenangan.

Selain menggunakan 5 Body Syndrome, saya juga menggunakan prinsip anima-animus (feminin-maskulin). Dan dari jawaban yang telah diberikan sebelumnya, melahirkan pertanyaan sebagai berikut:

  • Apakah Budi memiliki permasalahan dengan sosok feminin (dengan pasangan, ibu, saudara perempuan, atau pekerjaan)?
  • Jika memiliki permasalahan tersebut, dengan siapa Budi bermasalah?

 

Selalu Saya Yang Disalahkan

Dari kedua pertanyaan berkaitan dengan 5 Body Syndrome dan prinsip anima-animus tersebut didapatlah jawaban yang mengarah pada permasalahan dengan pasangannya.

Permasalahan berawal dari pertengkaran-pertengkaran kecil diantara keduanya, namun mulai memuncak ketika sakitnya ibu mertua Budi yang kemudian di rawat di rumah sakit cukup lama. Dikarenakan faktor usia, akhirnya menghembuskan nafas di rumah sakit. Disinilah permasalahan “besar” terjadi, ibu mertua yang meninggal di saat Budi sedang berada di tempat kerja yang berjarak cukup jauh dari lokasi rumah sakit.

Di saat masa kritisnya, Budi yang menerima pesan dan langsung menuju rumah sakit, namun jarak yang cukup jauh ditambah dengan lalu lintas yang macet membuat Budi tidak sempat mendampingi sang istri di saat-saat terakhir ibu mertuanya.

Peristiwa inilah awal “petaka” pertengkaran besar mereka, sang istri menganggap Budi tidak memiliki perhatian dan kepedulian padanya dan ibu mertuanya yang berujung pada pertengkaran demi pertengkaran. Hal-hal kecil pun menjadi besar akhirnya.

Lalu ada juga masalah lainnya yaitu masalah dari suami adik ipar Budi alias suami adik istrinya yang berbisnis tanah dan rumah. Dimana suami adik ipar ini membeli sebidang tanah dan meminta tolong pada Budi siapa tahu ada yang berminat pada tanah tersebut. Budi pun menyanggupi dan mulai menawarkannya pada beberapa rekan. Kemudian salah satu rekan Budi berminat, langsung saja Budi pertemukan dengan suami adik iparnya.

Setelah dipertemukan, Budi tidak lagi ikut campur karena niat awalnya ingin membantu bukan menjadi “calo”, jadi begitu keduanya bertemu Budi langsung meninggalkannya.

Dan kesepakatan jual-beli pun terjadi, namun disinilah masalah baru timbul dimana rekannya Budi ini agak sedikit terlambat dalam pembayaran sesuai dengan tenggat waktu yang disepakati.

Siapa yang disalahkan? Lagi-lagi Budi, karena dianggap mengenalkan pada orang yang salah. Dan lagi-lagi yang mempermasalahkannya adalah istri Budi sendiri, karena sang adik mengadu pada kakaknya yang tak lain istri dari Budi, mengadu dengan sedikit “drama”, ya… dengan teriak-teriak histeris.

Ada lagi masalah yang lain, kembali berkaitan dengan sang istri, kali ini istrinya mencoba berbisnis namun bisnis tidak berjalan sesuai harapan dan meninggalkan banyak hutang di mana-mana. Yang membuat istri Budi ini kerjaannya sewot terus, marah-marah terus dan meminta Budi untuk membantu menyelesaikan masalah hutang-hutang tersebut.

Bagi Budi yang bekerja di divisi marketing tentunya agak sulit untuk memenuhi permintaan istrinya, penghasilannya harus bergantung pada fee-marketing yang akhirnya membuat Budi harus meningkatkan kinerjanya berkali-kali lipat.

Tapi Budi merasakan kesulitan untuk fokus meningkatkan kinerjanya, karena setiap kali pulang ke rumah didapati sang istri rewel, marah-marah, sewot mengatakan Budi sebagai suami yang tidak sayang istri, suami yang tidak berguna—yang membuat mood Budi langsung drop.

Di akhir kisah yang Budi ceritakan, Ia menyadari dan mulai berpikir, “Kenapa selalu saya yang disalahkan?”.

 

Proses Penanganan

Tibalah di pertemuan kedua, pertemuan dimana proses penanganan akan dilakukan.

Dalam prosedur penanganan yang paling pertama adalah memastikan harapan klien setelah penanganan, dengan demikian akan didapatkan formulasi masalah. Dimana saat ini Budi merasakan sakit di kepala sebelah kiri saat memikirkan istrinya, sedangkan harapannya setelah selesai penanganan Budi ingin biasa saja saat memikirkan istrinya.

Pembahasan mengenai formulasi masalah akan dibahas secara lengkap dan mendetail di Bab 11, agar Anda dapat memahami mengapa formulasi masalah itu diperlukan dalam sebuah proses penanganan terlepas dari modalitas atau teknik terapi yang akan digunakan.

Kembali ke pembahasan proses penanganan masalah yang dialami Budi, setelah mendapatkan kejelasan formulasi permasalahan, proses penanganan pun dapat dilakukan.

Pada penanganan kali ini, saya menggunakan teknik “Straight Resolution Method” atau disingkat SRM. Teknik yang diformulasikan oleh Coach Alguskha Nalendra dari beberapa teknik, yaitu: Cognitive Behavioural Therapy (CBT), Neuro-Linguistic Programming (NLP), Hipnosis, Be Set Free Fast (BSFF), dan Emotional Freedom Technique (EFT). Bagi yang penasaran mengenai SRM dapat Anda baca di buku “The Freedom Within” karya Coach Alguskha Nalendra.

Singkatnya, proses penanganan pun dilakukan sesuai prosedur SRM dari awal hingga akhir (Untuk mengetahui detail lengkap jalannya proses penanganan, ada di buku kedua saya yang akan terbit di bulan November 2024).

 

Pasca Penanganan

Seminggu setelah sesi penanganan, Budi menghubungi saya via WhatsApp Call, dia dengan nada yang tenang mengatakan jika setelah selesai penanganan bersama saya merasa biasa saja alias netral ketika menghadapi ulah sang istri yang ada-ada saja dan ajaib itu, begitu pula rasa sakit di kepala bagian kirinya tidak pernah kambuh lagi.

Bahkan kini Budi jadi lebih supel menghadapi klien terutama klien wanita, yang rupanya sikap dan perilaku sang istri secara tidak disadarinya turut pula menjatuhkan rasa percaya diri Budi saat berhadapan dengan klien wanita yang ditemuinya.

Dengan adanya konfirmasi dari Budi tersebutlah saya bisa menyatakan bahwa permasalahan psikosomatis yang di alami Budi telah selesai dan tidak perlu lagi untuk manjalani sesi lanjutan.

 

~ oOo ~

Leave a Reply