BandungBandung Senin - Jumat 10:00-18:00 +62 811 - 232 - 1220
info@hipnoterapibandung.com
Pelopor
Terdepan di Bandung
Profesional
Praktisi berlisensi
Berpengalaman
Lebih dari 11 tahun
Hubungi Kami

“Melepaskan bukan berarti kamu tidak peduli lagi pada seseorang. Itu hanya untuk menyadari bahwa satu-satunya orang yang benar-benar dapat kamu kendalikan adalah dirimu sendiri.”

~ Deborah Reber

 

~ oOo ~

 

Semakin dekat dengan akhir dari bulan suci Ramadhan berarti semakin dekat pula dengan Hari Raya Idul Fitri. Sudah menjadi budaya saat Hari Raya Idul Fitri yaitu saling memaafkan. Namun apa yang terjadi lepas itu, kembali kecewa!

Ya… hal ini kerap terjadi berulang kali, saling memaafkan lalu kembali kecewa, apa sih penyebabnya?

 

Penyebab Kecewa Setelah Memaafkan

Ada beberapa penyebab atau alasan yang membuat seseorang mengalami kekecewaan setelah memaafkan orang lain.

  1. Sekedar “Kebiasaan”
    Penyebab pertama adalah, memaafkan ini hanyalah sekedar “kebiasaan” atau tradisi saat Idul Fitri semata. Ini mungkin salah satu alasan teratas yang terjadi terutama di Indonesia di mana memaafkan itu seperti sebuah hal yang biasa saja seperti halnya dengan bernapas. “Kebiasaan” ini yang membuat banyak orang tidak memahami konsep memaafkan yang sebenarnya.
  1. Tidak Memahami Makna Memaafkan
    Memaafkan merupakan sebuah tindakan berani di saat kita dalam kondisi emosi seperti kecewa, marah, sedih atas perbuatan atau ucapan orang lain. Namun memaafkan itu yang paling penting adalah menyadari kesalahan apa yang harus dimaafkan, mungkin inilah penyebab saling memaafkan menjadi tidak memiliki makna, karena harus memaafkan seseorang yang kita sendiri tidak tahu dimana kesalahan yang harus dimaafkan. Kemudian makna memaafkan sendiri hanya sebatas saling mengucap maaf dan berjabat tangan tanpa ada “akad” atau “ikrar” yang membebaskan kesalahan masing-masing.
  1. Hanya “Formalitas”
    Nah, satu lagi nih penyebab memaafkan tidak efektif, yaitu memaafkan hanya sebagai “formalitas”. Lho, kok bisa? Lho, kenapa tidak bisa? Ya, mungkin terdengar sedikit tidak wajar, tapi ada beberapa orang yang menjadikan memaafkan atau saling memaafkan sebagai formalitas, semata untuk menjaga hubungan baik, menjaga norma kesopanan, atau pun tidak ingin di cap sombong.
  1. Setengah Hati
    Kalau yang ini beda lagi, memaafkan namun setengah hati, artinya di dalam hatinya masih ada keengganan untuk memaafkan. Kondisi ini biasa terjadi pada orang yang memendam kemarahan, kebencian maupun dendam pada seseorang—masih ada ganjalan dalam dirinya yang menghalanginya dan membuat dirinya sulit memaafkan orang lain sepenuh hati.
  1. Rasa Takut Terulang
    Jangan salah, rasa takut ternyata bisa juga membuat seseorang tidak mampu memaafkan orang lain. Lebih tepatnya rasa takut akan terulangnya perbuatan atau perkataan tidak menyenangkan dari orang yang akan dimaafkan. Seperti kita tahu, kita tidak bisa menebak isi hati orang lain, karena hal inilah yang membuat seseorang merasakan ketakutan dan dihantui oleh perasaan tersebut sehingga berat untuk memaafkan perbuatan atau perkataan buruk orang lain.
  1. Belum Memaafkan Diri Sendiri
    Terkadang kita terlalu fokus pada masalah memaafkan orang lain, namun seringkali kita lupa bagaimana kita bisa memaafkan orang kalau diri sendiri tidak punya maaf itu. Kita sibuk menimang mau memaafkan orang yang membuat kita menderita atau tidak, tapi kita tidak pernah memaafkan diri sendiri yang telah begitu lemah membiarkan segala sesuatu yang buruk itu terjadi pada kita, kita yang begitu lemah sehingga bisa dengan mudah dikendalikan oleh amarah dan benci pada orang lain. Jangan salah, memaafkan diri sendiri ini salah satu cara kita memiliki maaf untuk diberikan pada orang lain dengan sepenuh hati.

 

Berharap Dia Atau Mereka Berubah

Dari semua penyebab di atas, pada akhirnya bermuara pada harapan. Ya, menaruh harapan pada orang yang kita maafkan agar berubah menjadi orang yang baik—tidak lagi berbuat atau berkata buruk dan lain sebagainya. Ini adalah hal yang luar biasa, ironi dan juga lucu.

Dikatakan luar biasa karena disinilah terlihat bahwa masih ada sisi baik yang tetap mendominasi seorang manusia, meski dia disakiti sekalipun. Sedangkan dibilang ironi, ya sudah jelaslah—orang disakiti kok malah berharap orang itu berubah menjadi lebih baik.

Lalu lucunya dimana? Ya lucunya, kita semua tahu bahwa kita tidak bisa merubah orang lain atau kondisi di luar diri kita—kita tahu itu, tapi kita dengan keras kepala tetap berharap agar orang lain itu berubah. Lucu, iya lucu, kita terlalu berfokus pada orang lain atau situasi di luar diri kita, satu-satunya yang bisa kita harapkan berubah adalah diri kita sendiri.

Berubah dari pribadi yang lemah—yang dengan mudah dimanfaatkan dan direndahkan orang lain menjadi pribadi yang kuat—yang mampu menolak untuk dimanfaatkan dan mampu berdiri dengan kepala tegak. Berubah dari pribadi yang plin-plan—yang tidak mampu mengemukakan pendapat menjadi pribadi yang tegas—yang mampu menegaskan batas bawah yang tidak boleh dilewati atau menegaskan prinsip hidup yang tidak boleh di langgar. Berubah dari pribadi “baperan” yang selalu dimasukan ke dalam hati—over-sensitive—apa-apa sakit hati menjadi pribadi yang tegar—yang tidak mudah sakit hati ketika dikecewakan—yang mampu menatap dunia dengan bangga.

 

Melepaskan Harapan Sebagai Solusi

Seperti yang telah dijelaskan bahwa segala penyebab rasa kecewa setelah memaafkan itu muncul adalah adanya harapan kita pada orang lain, dan jika ternyata orang itu atau mereka yang telah menyakiti kita tetap tidak berubah bahkan malah tambah jadi maka akan membuat kita semakin kecewa.

Lalu, apa sih solusinya? Solusi mudah dan sederhana, ya… dengan melepaskan semua harapan kita pada orang yang menyakiti kita. Betulkan mudah dan sederhana? Tapi ternyata itu sangat sulit dan rumit untuk dilakukan. Mengapa?

Ada ego di dalam diri kita yang menghalangi kita untuk melepaskan harapan kita pada mereka yang menyakiti kita. Ego yang membuat kita seolah seperti “orang baik” di mata orang lain karena mampu memaafkan mereka bahkan berharap mereka menjadi lebih baik lagi. Ego yang tidak disadari sedikit demi sedikit dan secara perlahan menggerogoti diri kita dari dalam, yang menanamkan benih kebencian dan dendam yang selayaknya sebuah “bom waktu” yang sewaktu-waktu akan meledak.

 

Pesan Penutup

Jadi, Kawargian Sayaga semua, di momen yang baik ini mari kita lepaskan harapan pada mereka yang telah menyakiti kita, jangan bebani diri kita dengan semua harapan pada mereka yang belum tentu mau berubah. Fokuslah pada diri kita sendiri, berikan harapan pada diri kita, harapan perubahan menjadi pribadi terbaik—pribadi yang mampu dengan tegas mengatakan tidak, pribadi yang mampu dengan tegar menghadapi segala cobaan dan ujian, pribadi yang mampu menatap dunia dengan bangga.

Terima kasih. Salam Eling, Waspada lan Sayaga.

 

~ oOo ~

1 Response

Leave a Reply