“Ada luka yang tak nampak di tubuh, yang lebih dalam dan lebih menyakitkan dari luka apapun yang mengeluarkan darah.”
~ Laurell K. Hamilton
Pernikahan sejatinya adalah sebuah ikatan suci diantara dua hati, yang diikat oleh janji dihadapan Tuhan Sang Pemilik Kehidupan. Janji yang telah terucap haruslah dihormati dan apa yang sudah dijanjikan wajib pula dipenuhi.
Namun tidak semua pernikahan berjalan mulus dan bahagia, ada juga pernikahan yang harus berakhir, bahkan meninggalkan luka mendalam yang bayang-bayang menakutkan yang terus menghantui. Seperti kasus yang dialami oleh salah satu klien saya Rani (bukan nama sebenarnya), yang datang pada saya dengan kisah trauma yang memilukan akibat dari pernikahannya dahulu.
Awal kisahnya, Rani berpacaran dengan seorang pria, yang menurutnya sangat baik dan perhatian. Setelah sekian lama menjalin hubungan dengan sang kekasih, akhirnya keduanya pun memutuskan melanggengkan hubungan mereka di pelaminan, meski ditentang oleh kedua orang tua mereka karena adanya perbedaan keyakinan, namun mereka seolah dibutakan oleh cinta dan impian memiliki rumah tangga yang bahagia.
Impian Yang Kandas
Ada sebuah kata pepatah, “Untung tidak dapat diraih, malang tidak dapat ditolak” seperti itulah kehidupan rumah tangga keduanya.
Setelah setahun berumah tangga, Rani mulai merasakan kehidupan rumah tangganya seperti ‘di dalam neraka’, perbedaan value tentang keluarga dan berbedanya karakter hasil dari didikan orang tua. Dimana didikan dari orang tua sang suami tercinta yang membentuk karakter suami yang keras.
Tapi yang namanya cinta, ya…mau gimana lagi, Rani sempat berpikir mungkin dia (suami) akan berubah jika hadir buah hati ditengah-tengah pernikahan mereka, namun lagi dan lagi kenyataan tidak sesuai harapan.
Pekerjaan suami yang tidak jelas, sedangkan Rani memiliki karir yang cukup baik, semakin menambah rumit masalah rumah tangga mereka, dan ketika akhirnya bayi perempuan hadir dalam kehidupan mereka, ‘neraka’ itu menjadi semakin panas.
Bagaimana tidak? Suami yang merasa ‘rendah’ dengan ketidakjelasan pekerjaannya, harus mengandalkan istri untuk memenuhi kebutuhan keluarga kecil mereka, perasaan rendah inilah yang menjadi ‘bensin’ yang disiramkan ke dalam api yang sudah berkobar.
Sang suami yang dididik dengan value bahwa suami sebagai kepala keluarga yang harus bertanggung jawab atas kehidupan keluarganya ditambah karakter kerasnya membuat ia menjadi semakin mudah marah.
Meski akhirnya orang tua mereka bisa menerima pernikahan keduanya dengan kehadiran buah hati di antara mereka, namun itu tidak membuat hubungan suami-istri menjadi semakin baik, kesenjangan dan harga diri suami membuat keduanya semakin buruk, rumah tangga yang dahulu digadang-gadang indah dan bahagia malah menjadi suram dan menakutkan.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Tidak terasa kehidupan rumah tangga Rani yang bak neraka sudah memasuki tahun kelima dan si kecil sudah berusia 4 tahun.
Selama 3 tahun terakhir, sang suami tidak lagi hanya meluapkan emosi dengan kata-kata saja, dia sudah mulai main tangan bahkan lebih pada ‘siksaan’.
Menjadi korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT bukanlah sesuatu yang diharapkan setiap orang dalam kehidupan rumah tangganya, namun itulah yang terjadi pada Rani, bertahun-tahun menjadi korban KDRT baik kekerasan verbal maupun kekerasan fisik membuat jiwanya rapuh dan lelah fisik serta mental.
Akhirnya Rani menyerah, dan memutuskan untuk berpisah dengan suami yang dahulu sangat ia cintai. Mengalami KDRT dan perlakuan tidak menyenangkan benar-benar telah menenggelamkannya ke dasar kehidupan yang gelap dan suram.
Perpisahan Yang Meninggalkan Trauma
Perpisahan adalah keputusan yang berat, tidak seorang pun berharap pernikahan yang mereka jalani akan berakhir dengan perpisahan. Begitu juga dengan Rani, hanya saja tumpukan luka yang ia dapatkan membuat ia mengambil keputusan berani itu.
Awalnya Rani enggan memutuskan berpisah dengan pertimbangan takut anak semata wayangnya kehilangan sosok ayah yang baik. Rani pun mengakui, sebagai ayah—suaminya itu adalah ayah yang sangat baik dan hangat untuk anaknya, namun sebagai suami—ia adalah suami yang paling buruk.
Singkat cerita, akhirnya perpisahan itu pun terjadi melalui sidang yang cukup a lot dan hak asuh jatuh ke tangan Rani, perpisahan memang sudah terjadi namun tetap meninggalkan luka yang teramat dalam bernama trauma.
Proses Penanganan
Dari cerita Rani tersebut, yang pertama saya klarifikasi adalah apa yang ingin Rani selesaikan dengan penanganan bersama saya. Rani menjawab, rasa takut yang terus mengganggu kehidupannya—yang membuat dirinya tidak memiliki ketenangan, bahkan tidur pun selalu terganggu dengan mimpi tentang KDRT yang pernah dialaminya.
Setelah memastikan apa yang ingin diselesaikan, saya pun mulai menggali data dan informasi lainnya yang bisa saya gunakan dalam penanganan, sesudah data dan informasi saya dapatkan dengan lengkap, saya pun mulai penanganan kasusnya.
Namun karena pada saat itu saya belum mengenal dan belajar Resource Therapy (RT) maupun Straight Resolution Method (SRM), saya hanya menggunakan teknik yang saya pelajari di kelas Inner Evolution (IE) dahulu—bahasan mengenai IE ada di buku pertama saya A Journey of Transformation.
Kembali ke penanganan, saya meminta Rani memberikan skala pada si emosi untuk memudahkan saya untuk mengetahui dan mengukur perkembangannya, kemudian saya menggunakan teknik ‘kertas dan pulpen ajaib’ agar Rani dapat mengungkapkan apa yang menjadikan dirinya memiliki trauma kepada sosok mantan suaminya itu melalui tulisan, tentu saja teknik ini sedikit saya modifikasi, yang awalnya hanya menulis semua ungkapan dari dalam diri—saya modifikasi dengan memasukkan ekspresi emosi seperti teriakan, tangisan, atau umpatan.
Saya melakukan modifikasi ini karena saya ingat jika emosi itu harus di-ekspresikan, Rani pun mulai menuliskan segala perasaan yang menjadi ganjalan hingga gangguan dalam hidupnya, di sela-sela Rani menulis saya mulai memberikan sedikit pancingan atau provokasi agar Rani dapat mengeluarkan ekspresi dari emosi atau perasaannya.
Ekspresi dari Rani sendiri berupa teriakan dan tangisan serta umpatan atau caci maki terhadap sang mantan suami—dalam hal ini saya tidak dapat menuliskan umpatan dan caci maki tersebut karena bagi beberapa orang mungkin terkesan sangat kasar.
Rupanya modifikasi yang saya lakukan cukup memperlambat proses penulisan, karena klien dalam hal ini Rani harus melakukan setidaknya 3 aktivitas dalam satu waktu, menghayati perasaan, menuliskan perasaan, dan terakhir mengekspresikan perasaannya.
Setelah proses menulis selesai, saya meminta Rani untuk mengatur nafas dengan 3 tarikan-hembusan nafas. Ini dilakukan agar amygdala kembali ‘dingin’. Dan klien dalam hal ini Rani bisa melanjutkan ke proses selanjutnya.
Lepas istirahat sejenak untuk mendinginkan amygdala, proses dilanjutkan dengan memberikan afirmasi positif menggunakan teknik EFT, meski yang diketuk hanya titik karate chop saja dan itu pun dilakukan oleh Rani sendiri, saya hanya memandu dengan memberikan afirmasi.
Proses penanganan sendiri ditutup dengan memberikan makna baru atas peristiwa traumatis yang pernah dialami oleh Rani. Peristiwanya sudah lama berlalu namun makna dari peristiwa tersebut masih melekat dalam ingatan yang menjadikan Rani terus-menerus terganggu oleh makna yang melekat tersebut. Meskipun muatan emosi yang menghantui Rani sudah ditangani namun jika makna lama ini dibiarkan, maka akan terus mengganggu kehidupan Rani walaupun kali ini ia sudah memiliki kendali atas memori dari peristiwa masa lalu itu.
~ oOo ~