BandungBandung Senin - Jumat 10:00-18:00 +62 811 - 232 - 1220
info@hipnoterapibandung.com
Pelopor
Terdepan di Bandung
Profesional
Praktisi berlisensi
Berpengalaman
Lebih dari 11 tahun
Hubungi Kami

“Ketakutan Alami Manusia adalah Suara Keras dan Kekosongan Makna.”
~ dr. Raden Heragustianto Ali Murni

 

Sore itu, di ruang praktik saya, seorang pasien datang dengan keluhan yang sebenarnya tidak asing bagi saya sebagai dokter yang juga mendalami ilmu terapi mental emosional. Ia mengeluhkan gangguan tidur yang dialaminya. Pasien sudah diberikan obat untuk membantunya tidur, namun dia menjadi takut jika berjalan seperti ini terus maka dia akan menjadi ketergantungan pada obat tersebut. Setelah melalui penggalian, didapatkan bahwa seringkali yang menganggu tidurnya adalah perasaan takut yang tak jelas sumbernya, seolah-olah selalu ada yang mengancam tetapi ia tidak bisa memahami dari mana datangnya ancaman tersebut. Dalam sesi konsultasi awal, ia mulai berbagi cerita tentang ketakutan terhadap suara-suara keras, kesepian yang mendalam, dan kekosongan dalam hidupnya.

Ketika saya mendengar kisahnya, saya menyadari bahwa ketakutan yang dialaminya bukan hanya masalah individu dirinya, namun cukup menarik ketika saya mengingat bahwa sudah cukup banyak kejadian serupa yang datang kepada saya. Disitulah saya sadar bahwa apa yang dialaminya mempunyai kesamaan dengan kondisi-kondisi pasien saya yang lain, yaitu apa yang dialaminya sebenarnya berasal dari ketakutan alami yang dimiliki manusia sejak lahir.

Sebagai dokter yang mendalami keilmuan tentang mental emosional, saya memahami bahwa ada berbagai jenis ketakutan yang memang melekat dalam diri manusia. Namun yang menarik untuk saya ketika mempelajari “Ketakutan” ini, ternyata ada yang membahas bahwa manusia mempunyai ketakutan “alami” dan ketakutan yang “dipelajari” dari pengalaman kehidupannya. Maka cukup menarik jika dalam artikel ini, kita akan mengulas apa saja ketakutan alami manusia, bagaimana ketakutan ini terbentuk, serta solusi efektif melalui terapi mental dan hipnoterapi.

 

Ketakutan Alami Menurut Psikologi
dan Psikiatri

Secara psikologi, manusia sejak lahir memang memiliki ketakutan alami yang dirancang sebagai bentuk pertahanan diri dari bahaya. Ketakutan ini biasanya muncul sebagai respons terhadap hal-hal yang mengancam keselamatan fisik dan emosional kita. Para psikolog sepakat bahwa dua ketakutan bawaan manusia adalah ketakutan terhadap suara keras dan ketakutan terhadap jatuh. Kedua ketakutan ini merupakan mekanisme bertahan hidup yang telah ada sejak zaman nenek moyang kita.

Tokoh yang mengemukakan bahwa ketakutan alami manusia adalah suara keras dan jatuh adalah John B. Watson, seorang psikolog Amerika yang dikenal sebagai pelopor aliran behaviorisme. Melalui eksperimen yang terkenal dengan “Little Albert” pada tahun 1920, Watson menunjukkan bahwa manusia memiliki ketakutan bawaan terhadap suara keras dan ketinggian (jatuh), dan bahwa ketakutan lainnya dapat dipelajari melalui proses kondisioning.

Ketika bayi dilahirkan, salah satu respons pertama yang terlihat adalah rasa takut terhadap suara keras. Hal ini dikenal sebagai respons startle yang membantu manusia untuk waspada terhadap bahaya yang datang tiba-tiba, misalnya suara gemuruh atau ledakan yang dapat mengindikasikan ancaman di lingkungan.

Eksperimen ini menunjukkan bahwa bayi (Little Albert) secara alami takut terhadap suara keras, yang kemudian dikondisikan untuk merasa takut terhadap benda-benda lain (seperti tikus putih) yang sebelumnya netral, dengan mengasosiasikannya dengan suara keras tersebut.

Ketakutan lain yang muncul adalah ketakutan terhadap ketinggian atau jatuh. Sejak dini, manusia sudah memiliki insting untuk menghindari situasi yang dapat menyebabkan cedera atau ancaman fisik.

 

Ketakutan Alami Terhadap Suara Keras dan Kekosongan Hidup

Sebagai seorang praktisi yang juga mempelajari kedalaman emosi manusia, saya mendapati bahwa ketakutan alami tidak hanya terbatas pada kedua hal diatas, tetapi juga merambat ke aspek-aspek psikologis yang lebih dalam. Salah satu konsep yang sering saya refleksikan dalam kehidupan nyata adalah adanya ketakutan terhadap suara keras dan ketakutan akan kekosongan makna hidup.

Refleksi terhadap ketakutan kepada suara keras, hal ini saya amati pada bayi yang memang mempunyai “ketakutan” atau supaya lebih objektif mungkin kita akan sebut “ketidaknyamanan” terhadap suara keras, karena tentunya “takut” adalah penilaian subjektif kita terhadap perasaan yang dirasakan oleh bayi terebut. Untuk lebih mudah dipahami, pastinya kita mempunyai pengalaman, melihat ketika ada suara keras di sekitar bayi yang baru lahir, dia akan seperti tersentak atau kaget, dan selanjutnya dia akan merasakan “ketidaknyamanan” dan pada akhirnya menangis sebagai respon dari “ketidaknyamanan” tersebut.

Ternyata di dunia yang semakin penuh dengan kebisingan, baik dari teknologi maupun lingkungan sekitar, suara keras tetap menjadi pemicu yang menimbulkan ketidaknyamanan tersebut. Orang dewasa pun, yang seharusnya sudah beradaptasi dengan suara keras, sering kali merasakan gelisah atau ketidaknyamanan ketika berada di lingkungan yang terlalu bising. Misalnya, seseorang mungkin merasa cemas berada di tempat dengan banyak sirene atau ledakan suara, bahkan tanpa alasan jelas.

Refleksi saya terhadap ketidaknyamanan kepada kekosongan ini, saya temukan ketika mengamati seorang bayi yang tertidur sendirian didalam kamar, dan ketika dia bangun dia menangis yang menandakan adanya “ketakutan” atau “ketidaknyamanan”. Padahal sebelumnya tidak ada suara keras dan kalau karena sebab “tempat yang tinggi” atau “jatuh”, saat itu dia berarada di posisi yang “aman” dalam artian ditengah tempat tidur yang tidak memungkinkan dia untuk jatuh. Disinilah saya berpendapat bahwa salah satu ketakutan mendalam yang sering dialami manusia adalah kekosongan hidup.

Kekosongan di sini tidak hanya merujuk pada kesendirian, tetapi lebih pada perasaan hampa, kehilangan makna, atau tidak memiliki tujuan hidup yang jelas. Hal ini sering kali menyebabkan kecemasan eksistensial, di mana seseorang merasa hidupnya berjalan tanpa arah yang pasti, sehingga memicu rasa takut yang lebih abstrak.

Teori yang menunjukkan bahwa makna atau keberadaan bayi hingga usia tertentu bergantung pada orang lain di sekitarnya dapat dikaitkan dengan Teori Attachment yang dikembangkan oleh John Bowlby, seorang psikiater dan psikoanalis Inggris.

Menurut Attachment Theory ini, bayi membentuk ikatan emosional dengan pengasuh utama mereka (biasanya ibu) yang memberikan rasa aman dan kehadiran. Ikatan ini sangat penting untuk perkembangan emosional dan psikologis bayi. Bayi tidak hanya bergantung pada pengasuh untuk kebutuhan fisik (makanan, kenyamanan), tetapi juga untuk kebutuhan emosional, termasuk rasa aman dan keberadaan.

Ketika bayi tidak memiliki kehadiran orang yang signifikan di sekitarnya, terutama dalam periode awal kehidupan (0-2 tahun), mereka cenderung merasa cemas, takut, dan “hilang” secara emosional. Kekosongan ini bisa dirasakan sebagai kehilangan makna atau eksistensi, karena bayi belum dapat memahami dunia secara mandiri. Mary Ainsworth, yang mengembangkan konsep “Strange Situation” sebagai bagian dari teori attachment, menunjukkan bagaimana bayi bereaksi ketika ditinggalkan oleh pengasuhnya, seringkali dengan tangisan, kegelisahan, dan ketidaknyamanan.

Dalam konteks ini, bayi membutuhkan kehadiran orang lain untuk merasa berarti, aman, dan “ada.” Tanpa kehadiran pengasuh, bayi merasakan kekosongan karena mereka belum mampu merasakan keberadaan diri secara mandiri.

 

Masalah Umum dan Ilustrasi dalam Kehidupan Sehari-hari

Dalam praktik saya, banyak pasien yang tidak menyadari bahwa perasaan cemas yang mereka alami berasal dari ketakutan alami ini. Sebagai contoh, seorang wanita yang selalu cemas setiap kali ada suara keras di kantornya mungkin tidak menyadari bahwa ini adalah respons bawaan tubuhnya. Atau, seorang pria yang merasa tidak puas dengan kehidupannya sering kali merasa terjebak dalam kekosongan hidup, yang pada akhirnya memicu stres berkepanjangan.

Untuk mengilustrasikan hal ini dalam bentuk metafora, bayangkan seseorang yang berdiri di tepi tebing curam. Saat ia melihat ke bawah, ia merasakan ketakutan yang luar biasa. Namun, bukan hanya ketakutan akan jatuh, tetapi juga ketakutan akan apa yang terjadi jika ia melompat ke dalam kehampaan. Kekosongan ini menggambarkan rasa takut manusia terhadap hal-hal yang tidak diketahui dan kurangnya kendali dalam hidupnya.

 

Hipnoterapi Sebagai Solusi

Sebagai seorang praktisi hipnoterapi, saya telah menyaksikan bagaimana hipnoterapi bisa membantu mengatasi berbagai ketakutan alami ini. Dengan memanfaatkan hipnosis, kita dapat membantu pasien untuk lebih memahami sumber ketakutannya dan menciptakan perubahan pada tingkat bawah sadar. Teknik ini bisa membantu mereka mengatasi rasa takut terhadap suara keras, atau menemukan kembali makna hidup yang hilang, yang menyebabkan kekosongan dalam hidup mereka.

Hipnoterapi bekerja dengan menenangkan sistem saraf dan menstimulasi pikiran untuk kembali ke pola pikir yang lebih positif dan konstruktif. Dalam sesi hipnoterapi, pasien diajak untuk menjelajahi ketakutan-ketakutan mereka dan menemukan cara untuk menghadapinya dengan lebih sehat dan efektif. Misalnya, seseorang yang selalu cemas terhadap suara keras dapat dilatih untuk merespons suara dengan lebih tenang, sementara mereka yang merasa hampa dapat dibantu untuk menemukan tujuan hidup baru.

 

Kesimpulan

Ketakutan alami adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Ketakutan terhadap suara keras dan kekosongan hidup adalah contoh nyata dari bagaimana ketakutan ini beroperasi di tingkat mental dan fisik. Namun, dengan pemahaman yang tepat dan teknik terapi yang mendalam, ketakutan-ketakutan ini bisa diatasi. Melalui hipnoterapi, seseorang dapat mulai melihat hidupnya dengan cara yang berbeda, lebih positif, dan lebih tenang.

Untuk menjaga kesehatan mental dan fisik, penting bagi kita untuk selalu berusaha memahami ketakutan-ketakutan yang ada dalam diri kita. Dengan cara ini, kita bisa menjalani hidup yang lebih bermakna dan sehat, baik secara emosional maupun spiritual.

Salam Eling, Waspada, Lan Sayaga

Leave a Reply